Menggugah Kesedaran Masyarakat Untuk Berasuransi

30 Sept 2015

Ketika orang awam diajak bicara dan kemudian ditawari produk asuransi tidak jarang impresi yang didapati adalah senyum sinis seseorang dengan sosok raut muka yang penuh keterpaksaan. Bukan hal aneh kalau impresi semacam itu sebenarnya terbentuk karena pengaruh stereotype agen asuransi jiwa di masa lalu yang identik dengan sosok individu yang terkesan kurang akomodatif terhadap nasabahnya.
Tidak dapat dipungkiri bahwa grafik kehidupan kita mengalami pasang surut. Apa yang akan terjadi besok pagi, bahkan 1 detik di masa depan tidak ada yang tahu. Hanya Tuhan yang tahu. Dengan kata lain, kehidupan kita akan mengalami risiko yang tidak terduga. Risiko tersebut dapat berupa beban risiko atas diri sendiri, keluarga, maupun harta yang kita miliki.
Kita tidak menyadari atau menyangka bahwa keadaan yang awalnya tampak cerah atau tanpa ada hambatan tentang harta dan diri serta keluarga yang ada di sekeliling kita seketika berubah menjadi musibah dan sukar dikendalikan. Betapa hancur kita dan sangat sia-sia jika peristiwa yang terjadi di luar kendali kita seperti penyakit kecelakaan, banjir, kebakaran, dan huru-hara menghanguskan hasil kerja keras yang kita peroleh hilang dalam sekelip mata. 
Apalagi kondisi ketidakstabilan perekonomian menambah risau kehidupan kita. Nilai rupiah terhadap dollar yang melemah. Inflasi yang semakin meninggi  dan ditambah lagi biaya hidup yang semakin mahal, khususnya biaya penanganan kesehatan membuat nyawa manusia tidak lagi berharga.
Hanya golongan orang kaya yang punya banyak uang yang bisa membantu dalam mengatasi biaya perawatan kesehatan. Selain itu, biaya pendidikan pun semakin tidak terkendali. Biaya masuk sekaolah tinggi atau kuliah semakin di luar kemampuan kita.
Bukan hanya itu, kondisi kesehatan kita juga semakin berkurang seiring dengan bertambahnya usia. Jika saat ini masih bisa bekerja, belum tentu besok kita bisa bekerja. Karena penyakit bisa dating tiba-tiba. Musibah atau kecelakaan yang menimpa diri kita atau keluarga kita tidak meminta ijin atau mengetuk pintu terlebih dahulu.
Kondisi di atas adalah sekelumit kondisi yang harus kita hadapi. Hal itulah yang menyebabkan perlu adanya perlindungan yang mampu menajamin kehidupan kita. Salah satu solusi yang bisa kita lakukan adalah dengan memiliki program asuransi.
Faktor yang menyebabkan masyarakat menjadi minim untuk berasuransi antara lain:
Tingkat Kesejahteraan atau Pendapatan Masyarakat yang Rendah
Menjadikan asuransi belum sebuah kebutuhan atau gaya hidup (lifestyle). Karena masih banyak kebutuhan lain yang lebih mendesak menyisihkan sebagian pendapatannya untuk keperluan proteksi buat diri sendiri, keluarga dan harta bendanya. Apalagi, jika sebagai instrumen investasi masih terlalu jauh untuk dipikirkan. Itulah sebabnya, menyisihkan sebagian pengeluaran untuk pembayaran premi yang identik dengan menabung tidak mampu dianggarkan.

Faktor Budaya
Banyak yang berpikir bahwa masa depan urusan nanti, yang terpenting adalah memenuhi kebutuhan sekarang. Hal ini pun bisa mempengaruhi kesadaran masyarakat akan pentingnya berasuransi.

Apalagi, banyak orang tua umumnya masih menyandarkan harapannya terhadap anak-anaknya. Anak seolah-olah dianggap sebagai “asset” sehingga kemandirian hidup hingga usia senja kurang dipersiapkan.

Jika kita membayangkan bahwa dirinya kelak menjadi tua dan anaknya tak bisa merawatnya karena kesibukannya atau perekonomian keluarganya kurang mampu, tentu sejak dini akan terpacu untuk memiliki asuransi.

Sosialisasi Tentang Asuransi

Kapasitas dunia usaha mengenai pentingnya berasuransi yang masih tergolong rendah menyebabkan upaya melakukan edukasi kepada publik masih terbatas mengenai melek finansial (financial literary). 

Padahal, sosialisasi tentang pemahaman dan pengetahuan sangat penting untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang asuransi. Agar pengetahuan masyarakat tentang asuransi mampu terdongkrak. Masyarakat Indonesia mungkin sudah mengenal asuransi, tapi belum merasa butuh atau perlu membeli asuransi. Sikap ini bisa saja dipengaruhi oleh persepsi bahwa asuransi itu adalah “bisnis janji”. 

Kita membeli produk asuransi tetapi manfaatnya baru dirasakan nanti. Bahkan bisa saja klaim asuransi tidak terjadi jika kita baik-baik saja, atau tidak mengalami musibah yang diproteksi oleh jasa asuransi. Masih sangat sedikit masyarakat yang datang ke kantor asuransi untuk menyatakan kesediaannya menjadi pemegang polis. Masyarakat mau datang ke kantor asuransi jika ada petugas atau agen asuransi yang memberi penjelasan kemudian menawarkan jasa proteksinya.

Infrastruktur Perasuransian

kita menyadari bahwa kantor-kantor cabang, cabang pembantu atau unit perbankan sudah masuk sampai wilayah kecamatan yang menyebabkan masyarakat sangat mengenal dunia perbankan. Sedangkan kantor cabang atau agen perusahaan asuransi masih jarang, bahkan baru menjangkau ibu kota provinsi di seluruh Indonesia.

Jika ada yang telah menembus pasar di tingkat ibu kota kabupaten masih bisa dihitung dengan jari. Hal ini memberikan sinyal bahwa keberadaan perusahaan asuransi masih jauh tertinggal di bandingkan perusahaan perbankan. Akhirnya, masyarakat pun masih awam atau minim tentang asuransi. Imbasnya pengetahuan tentang pentingnya berasuransi masih menjadi hal baru.

 Sumber Artikel:

No comments:

Post a Comment